Monday, April 29, 2019

Kisah Marga Ginting



Kampung Tongging, salah satu desa asal Merga Ginting


Inilah kisah Sang Merga Ginting dari urang Kalasen ke Tinjo


Lahirlah anak pengulu Tinjo laki-laki, dibaca harinya hari sial, maka diundanglah sanak saudara pengulu Tinjo, “Bunuhlah anak ini, jika tidak dibunuh maka aku akan mati” kata pengulu Tinjo.

“Jika Pengulu berkata demikian, maka baiklah” jawab orang-orang itu, tetapi seorang adik Pengulu Tinjo yang bungsu berkata, “ Jangan dibunuh, baiklah aku akan pergi membawa anak ini, bersama dua orang ini sebagai pembantuku”. Maka pergilah adik Pengulu TInjo (bapa ngudanya) membawa anak itu ke luar dari kampung.

Sesampainya di luar kampung diambil bapa ngudanya getah pohon mbetung untuk diminum anak itu. Pa Udanya memiliki seekor kerbau putih, ketika kerbaunya itu  melahirkan dibunuhlah anaknya. Kemudian diikatkan induk kerbaunya ke batang  Pisang Galoh Sitabar, ketika kerbaunya rebah maka anak itu meminum susu kerbaunya dengan naungan pohon Galoh Sitabar.

Di kampung Pengulu Tinjo mengalami penyakit, maka diundanglah adiknya ke kampung,

“Pergilah bersama anak itu, jangan lagi tinggal di tanah ini” kata Pengulu tinjo kepada sang adik.

“Jika aku pergi kakanda, berikanlah segenggam tanah yang dari Urang Kalasen dahulu, dan bagaimana kelak cara  menimbangnya?”

“Dimana adinda temui daerah yang baik, ambillah tanahnya segenggam dan timbang , jika timbangannya sama maka baiklah tanah itu”

“Dan namakanlah anak itu si Matangken, dipantangkannyalah kiranya pisang galoh sitabar, kerbau putih dan mbetung”

Maka berangkatlah si Matangken bersama bapa ngudanya, dengan membawa kerbaunya si kerbau putih. Sepanjang jalan diambil tanah segenggam dan ditimbang dengan tanah segenggam yang dari Urang Kalasen  tapi taka da satupun yang sama, sampailah mereka di Lau Lingga ditimbang tanahnya maka samalah timbangannya, maka disanalah mereka mendirikan perkampungannya.

Suatu hari berkatalah si Matangken kepada bapa ngudanya,”Hendaklah kita buat jerat diatas bukit”,  maka dibuatlah jerat keatas bukit itu. Keesokan harinya saat melihat hasil jeratnya, ternyata yang terkena adalah anak Si Raja Umang seorang gadis yang sangat rupawan,

“Kenapa kau sampai terkena jeratku ini?”, kata si Matangken,

“Janganlah berkata kasar kepadaku, aku ini jatuh dari langit. Jikalau engkau rindu kebaikan datang kepadamu, aku menjadikan engkau menjadi raja di Lau Lingga ini. Tapi berjanji kita jika anak Raja Umang jatuh dari langit, engkau tidak boleh berkata kasar kepadanya, atau kau akan mati” jawab si Putri Umang. Maka dinamakan Gunung itu Gunung Sibolangit dan menikahlah si Matangken dengan anak Si Raja Umang.

“Jika engkau telah menikah, ingat akan alah mu,” kata orang-orang kepada si Matangken yang kini menjadi raja di Lau Lingga, maka diundanglah guru sibaso agar berkomunikasi dengan alahnya.”

Buatlah kandang kerbau dan kandang kuda demikian berkata alahnya melalui guru sibaso. Tetapi tidak ada seekor kerbaupun dimiliki Raja, maka orang-orang itupun pun menjadi congkak kepada Raja Lau Lingga, orang-orang itu pun mempermalukan Raja dengan membuat gerbang dan kunci kandang yang kosong itu, merekapun menguncinya dan membukanya pada pagi harinya, sampai hari yang keempat kandang itu tetap kosong tidak berisi.

Pada hari yang kelima dibuka kunci dan gerbangnya, sekonyong-konyong turun segerombol kerbau  30 ekor kerbau dari Gunung Pujan terus masuk kedalam kandang itu. Maka dijadikanlah Gunung pujan sebagai tempat persembahan Raja Lau Lingga. Maka makmurlah sekarang Raja Lau LIngga.

Lalu datanglah marga Perangin-angin dari Tambahen yang bernama Pinem. “Sungguhlah makmur Tuan Raja kulihat, tapi satu kekurangan dari Tuan Raja, Tuan Raja bermandikan air sungai, di lembah pinggir kampung ini buatlah kiranya pemandian Tuan Raja,” kata si Pinem kepada Raja. “Jika engkau berkenan membuat pemandian disitu, maka aku akan menikahkan engkau, tetapi buatlah pancurannya dari emas, dan kumpulkan sanak saudaramu, daun sirih Sembilan sebelas, dan kain uis satu lembar” jawab Raja.

Maka dipersembahkan sirih dibawah mata air itu, maka disitulah si Pinem membuat pancuran untuk Raja.  Dan menikahlah si Pinem ke keluarga Raja, ditempah olehnya pancur emas sesta. Jika raja hendak mandi maka disambungkanlah pancur emas itu dan setelah selesai pancur emas dibawa pulang.

Si Pinem pun mendirikan kampung dan dinamai kampung Pinem, disana lahir anaknya yang sulung diberi nama si Enggang, jadi kesemua marga Pinem asalnya dari kampung Pinem.

Didirikan oleh Raja Lingga balai pertemuannya dengan pengulu Pinem yang dinamakan Balai Selawang. Suatu ketika dating marga karo-karo dari Linggaraja yang bernama menemui pengulu Pinem, si Mandoropih dinikahkan oleh Pengulu Pinem, maka semua marga Karo-karo keturunan si Mandoropih awalnya dari Pinem.

Kemudian bertemulah si Mandoropih dan Pengulu Pinem dengan Raja Lau LIngga, maka didirikan Balai Pengulu Balang,”Jika ada masalah tidak terselesaikan disini maka dibawa ke Balai Selawah” demikian kata Raja Lau Lingga.

Ada seorang adik dari Raja Lau Lingga yang bernama si Berneh pergi ke rumah berneh Juhar, sebab itu ada Balai  Uruk berteng Juhar balai perjumpaan Raja Lau Lingga dengan adiknya Pengulu Rumah Berneh.

Diterjemahkan dari buku Pusataka Ginting Tulisan Alm. JH. Newman

bersambung......